
Cara Pandang Berbingkai Al-Qur’an
Kesempatan dapat hidup di dunia merupakan karunia teramat besar yang Allah berikan pada manusia, tentu dunia bukanlah garis akhir kehidupan mereka. Di dunia, manusia akan diuji dan dilatih hingga kemudian berpamit meninggalkannya. Beralih pada kehidupan akhirat di mana ia akan menetap selamanya. Ya, selamanya tanpa ada ketentuan batas finishnya. Harta benda serta kesenangan dunia, walau diciptakan sebegitu eloknya memesona hasrat manusia, sebenarnya bersifat melenakan jika tak berhati-hati bahkan menjadikannya tujuan. Karena harta benda dan kesenangan tersebut hakikatnya alat bantu semata yang semestinya difungsikan manusia untuk mengupayakan bekal hidup setelahnya. Begitu idealnya.
Akan tetapi, mereka yang tertutup hatinya tidak mampu memahami kenyataan ini sehingga mereka berperilaku seakan-akan segala sesuatu di dunia ini miliknya. Hal ini memperdaya mereka karena semua kesenangan di dunia ini bersifat sementara dan tidak sempurna, tidak mampu memuaskan manusia yang diciptakan untuk keindahan dan kesempurnaan abadi, Allah Jalla Jalaluhu. Allah menjelaskan betapa nikmat dunia merupakan kesenangan sesaat saja:
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (al-Hadiid: 20)
Kekeliruan besar terjadi ketika cara pandang Islam tidak lagi dipedulikan serta menerima persangkaan dunia yang mereka sentuh dan lihat merupakan sesuatu yang agung dan mutlak. Mereka menganggap dunia satu-satunya tempat dan kematian menjadi satu-satunya akhir. Pemujaan atas semua itu dilontarkan bahkan permintaan apapun didasarkan dunia. Akibatnya, mereka lupa dengan Allah bahkan mengingkari keberadaan-Nya. Persangkaan mereka terhadap ketetapan Allah usai babak kematian seolah mengisyaratkan ketidakpercayaan dan itu hanya sebatas khayalan. Demikianlah kekeliruan cara berpikir orang-orang yang ingkar.
Renungkanlah hal ini secara jujur dan sadar bahwa dunia beserta isinya mulai dari perabot berharga, pekerjaan, perhiasan, pakaian, pasangan, keturunan, teman, dan seluruh yang ada di dunia adalah ujian dan tak selamanya melekat pada diri. Hal-hal duniawi yang selalu ada suatu saat akan tiada. Mereka yang di dunia selalu membersamai nantinya akan berpisah. Target-target materialistis yang senantiasa diupayakan nantinya akan meninggalkan. Orang-orang yang saling temu nantinya pun berakhir pamit. Allah ta’ala pun telah berpesan mengenai sifat dunia yang fana lagi penuh tipu daya, adapun kebenaran dan kekal hanya milik Allah semata. Sehingga mereka yang termakan oleh fitnah dunia lebih dekat pada kebatilan. Dalam sebuah ayat berbunyi:
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (al-Hajj: 62)
Hal ini merupakan realitas, karena dunia merupakan sekumpulan “kesan” yang diciptakan untuk menguji manusia. Manusia diuji melalui kehidupannya yang terbatas dengan persepsi yang membingkainya. Persepsi-persepsi ini menguji dengan daya tariknya. Ingat, bahwa Allah telah menyampaikan dalam Al-Qur’an:
“Menjadi tampak indah bagi manusia kecintaan kepada yang diingininya; perempuan-perempuan, putera-putera, emas dan perak yang bertimbun-timbun, serta kuda pilihan yang diselar, binatang ternak dan tanah ladang. Itulah harta benda dalam kehidupan dunia, tetapi kepada Allah itulah tempat kembali terbaik.“ (Surat Ali 'Imran : 14)
Manusia tiada henti membicarakan kekayaan mereka, menganggap kedudukan mereka lebih tinggi dari yang lainnya. Sembari mengira bahwa mereka sukses atas semua pencapaian tersebut, semestinya manusia benar-benar memikirkan keadaan seperti apa yang akan mereka temukan didalamnya, usai menyadari bahwa kesuksesan itu tiada lain hanya ilusi belaka. Sebenarnya, keberadaan kenikmatan duniawi hanya ada setelah Allah ciptakan. Pun keberadaannya menurut kehendak dan perintah Allah semata.
Begitu pula, cara manusia merespon peristiwa yang dialami di dunia akan membuat mereka merasa malu ketika mereka menyadari realitasnya dan menilai Kembali dengan adil. Mereka yang berselisih satu dengan yang lain, berdebat mati-matian, menipu, menyuap, memalsukan, berbohong, kikir, banyak melakukan kesalahan kepada orang lain, memukul, dan mengutuk orang lain, sewenang-wenang, bernafsu mengejar jabatan dan kedudukan, iri hati, dan pamer, akan tercemar ketika mereka menyadari telah melakukan semua ini di alam mimpi.
Karena Allah menciptakan semua kesan ini, pemilik akhir segala yang ada dan tiada ialah Allah sendiri. Fakta ini ditekankan dalam Al-Qur’an:
“Milik Allah segala yang di langit dan yang di bumi. Dan Ia meliputi segala sesuatu.“ (Surat an-Nisa’, 126)
Bagi mereka yang lupa bahwa dunia merupakan tempat sementara dan enggan memperhatikan ayat-ayat Allah, lalu merasa puas dengan permainan dunia dan kesenangan hidup, menganggap dunia milik sendiri dan tidak taat pada aturanNya, ia akan dijatuhi hukuman yang amat sangat pedih. Al-Qur`an menggambarkan keadaan orang yang demikian,
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” (an-Nazi’at: 37-39)
Manusia tidak diciptakan untuk memenuhi keserakahan atau menuruti hawa nafsunya, satu-satunya alasan penciptaan manusia adalah untuk mentauhidkan Allah semata. Maka, jalan untuk mencapai tujuan ini diantaranya dengan menjadikan Al-Qur`an sebagai pedoman hidup. Mencurahkan segala perhatian untuk mengamalkan setiap ketentuan Al-Qur`an. Menyelami tadabbur makna ayat-ayatnya lantas merenungi dan mengambil hikmah dan pelajaran yang Allah selipkan dalam tiap-tiap kalimatnya untuk kemudian diamalkan dengan sebaik-baik pengamalan.
Misal saja, Al-Qur`an memberitahu kita bahwa seluruh alam adalah milik Allah, “Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.” (Thaahaa: 6). Ayat yang lain memperkuat kepemilikan Allah, kekuatan mengampuni atau menghukum, “Tidakkah kamu tahu, sesungguhnya Allahlah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, disiksa-Nya siapa yang dikehendaki-Nya dan diampuni-Nya bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Alah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (al-Maa`idah: 40)
Maka pada dasarnya, Allah memberikan semua kepemilikan kepada manusia sebagai “titipan” sementara di dunia. Titipan ini akan berakhir pada jangka waktu tertentu dan ketika tiba hari perhitungan, lalu setiap orang akan diminta pertanggungjawabannya. Begitulah Al-Qur’an mengajarkan pada manusia akan kehidupan.
Begitu pula ketika menyikapi kata “moderat” dalam hidup juga telah digambarkan paradigmanya dengan batasan-batasan dalam Al-Qur`an, dengan mengerjakan perintah agama dan menjauhi larangannya. Hal ini membutuhkan pandangan yang seimbang. Ketika orang beriman terlibat dengan masyarakat materialis-hedonis, ia tidak lantas latah mengikuti perbuatan masyarakat tersebut. Orang beriman harus selalu mematuhi apa yang tertulis dalam Al-Qur`an, tetap konsisten dalam setiap pendekatan, dalam setiap halnya.
Sedangkan, bagi orang beriman sudah semestinya menerjemahkan jalan hidup mereka berbingkai cara pandang Al-Qur`an. Dengan demikian, mereka harus membangun budaya dan karakter mereka dalam bingkai Al-Qur`an, sebagaimana perintah Allah untuk mencapai kondisi ini, yaitu mereka harus meninggalkan semua yang mereka peroleh dari jahiliyyah masyarakat yang lampau. Mereka harus memutuskan apa yang seharusnya dilakukan pada setiap situasi dengan bergantung pada penafsiran dan logika Al-Qur`an, karena kalamullah menunjukkan kepada mereka cara mendudukkan setiap situasi. Hal ini sebagaimana yang dikatakan dalam Al-Qur`an bahwa telah diturunkan kepada manusia sebuah kitab “untuk menjelaskan segala sesuatu” (an-Nahl: 89).
Wallahu a’lam. (Ia)