
Khutbah Idul Adha: Faidah Kisah Penyembelihan Isma’il ‘alaihissalam
Oleh Abid Ihsanudin (Muhaffiz Ma'had 'Aly Tahfizhul Qur'an Darul Ulum)
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
فَإِنَّ أَصْدَقَ الحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَأَفْضَلُ الهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ َوكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ
Segala puji bagi Allah ta’ala yang telah memberikan banyak nikmat dan karunia. Sholawat dan salam tercurah kepada Nabiullah Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam beserta keluarganya, sahabatnya, tabi’in, tabi’ut-tabi’in, dan kaum muslimin yang senantiasa tsiqoh di atas manhajnya.
Hadirin rohimakumullah,
Hari raya Idhul Adha adalah momen yang paling tepat merefleksikan kisah-kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Kekasih Allah dan bapaknya para Nabi. Teladan dalam pengorbanan, teladan dalam dakwah, teladan dalam keteguhan dan teladan dalam ketaatan.
Sebagaimana kita telah diingatkan dengan firman-Nya :
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (Annisa : 125)
Untuk itu mari sejenak kita menyegarkan kembali ingatan kita tentang peristiwa besar yang pernah dialami Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Dialah kekasih Allah Jalla jalaluh. 13 tahun tidak bertemu dengan anak dan istri, ketika kembali bukan membawa baju baru, bukan membawa surban baru, bukan membawa sandal atau sepatu baru, bukan membawa buah-buahan. Tapi membawa satu perintah Allah untuk menyembelih anaknya yang dicintai.
Ibrahim datang kepada anaknya,
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (Asshoffat : 102)
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْد
Lebih jauh lagi, para mufassir telah menuturkan kepada kita dialog kedua insan mulia, Ibrahim dan Isma’il ini dalam beberapa ungkapan yang cukup menyayat hati.
Isma’il berkata kepada ayahnya, “ya abati, ushika biasyyaa’a” wahai ayahku, sebelum penyembelihan ini, aku berwasiat kepada ayah :
يَا أَبَتِ اشْدُدْ رِبَاطِيْ حَتَّى لاَ أَضْطَرِبَ….
“Wahai Ayahku, kencangkanlah ikatanku agar aku tak lagi bergerak…”
وَاكْفُفْ عَنِّي ثِيَابَكَ حَتَّى لاَ يَنْتَضِحَ عَلَيْهَا مِنْ دَمِّيْ شَيْءٌ فَيَنْقُصَ أَجْرِيْ وَتَرَاهُ أُمِّيْ فَتَحْزَنُ….
“…Wahai Ayahku, singsingkanlah baju engkau agar darahku tidak mengotori baju engkau maka akan berkurang pahalaku, dan (jika nanti) Bunda melihat bercak darah itu niscaya beliau akan bersedih…”
وَيَا أَبَتِ اسْتَحِدَّ شَفْرَتَكَ وَأَسْرِعْ مَرَّ السِّكِّيْنِ عَلَى حَلْقِيْ لِيَكُوْنَ أَهْوَنُ عَلَيَّ فَإِنَّ الْمَوْتَ شَدِيْدٌ….
“…Dan tajamkanlah pisau Ayah serta percepatlah gerakan pisau itu di leherku agar terasa lebih ringan bagiku karena sungguh kematian itu amat dahsyat…”
وَإِذَا أَتَيْتَ أُمِّيْ فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلاَمَ مِنِّيْ…. وَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تَرُدَّ قَمِيْصِيْ عَلَى أُمِّيْ فَافْعَلْ….
“…Wahai Ayah, apabila engkau telah kembali maka sampaikan salam (kasih)ku kepada Bunda, dan apabila bajuku ini Ayah pandang baik untuk dibawa pulang maka lakukanlah.”
Berteriaklah Ibrahim dengan penuh keharuan
فَقَالَ لَهُ إِبْرَاهِيْمُ : نِعْمَ الْعَوْنُ أَنْتَ يَا بُنَيَّ عَلَى أَمْرِ اللهِ تَعَالَى….
“(Saat itu, dengan penuh haru) Ibrahim berkata: “Wahai anakku, sungguh engkau adalah anak yang sangat membantu dalam menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala “.
Ibrahim mengikat kedua tangan Isma’il sambil menangis, sang anak pun menangis. Ibrahim mengikat kedua kaki Isma’il sambil menangis, sang anak pun menangis menatap wajah ayahnya..
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).” (Ash-Shoffat : 103)
ketika itulah, Allah berfirman
وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُ
“Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim!”. (Ash-Shoffat : 104)
قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ
“sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Ash-Shoffat : 104)
Di depan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kini berdiri sesosok malaikat yang bercahaya. Ia menuntun seekor domba yang besar dan bagus.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar..” salamnya.
“La Ilaaha Illalahu, Allahu Akbar..” sahut Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
“Allahu Akbar, Walillahil Hamdu,” lanjut Ismail.
Betul-betul takbirnya orang yang berkorban. takbir orang yang berkorban bukan hanya sekedar suaranya yang tinggi, bukan hanya tentang merdunya suara. Tapi ini tentang pengorbanan. Takbir yang keluar dari lisan orang yang telah mempersembahkan hidupnya untuk agama Allah Subhanahu wa ta’ala
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْد
Hadirin rohimakumullah,
Demikianlah dialog sakral yang terjadi antara sang kekasih Allah, Ibrahim ‘alaihissalam dengan anaknya, Isma’il ‘alaihissalam. Sebuah narasi yang pernah terjadi sejak ribuan tahun yang lalu, menembus lorong sejarah, menggetarkan gendang telinga, dan mengetuk nurani setiap mereka yang menyimaknya. Allah abadikan sebuah episode besar dalam kehidupan Ibrahim ‘alaihissalam, tentu bukan tanpa maksud dan tujuan. Tapi Allah Ta’ala ingin memberikan pengajaran langsung melalui lisan-Nya yang Agung,
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ ۚ وَجَاءَكَ فِي هَٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud : 120)
Lantas, apa faidah yang bisa kita peroleh dari penggalan kisah perjalanan sang Kholilullah tersebut.
Setidaknya ada dua faidah besar yang bisa kita ambil,
Pertama, “Ta’at Tanpa Tapi dan Patuh Tanpa Syarat”
Allah Ta’ala ingin mengajarkan kepada kita tentang hakikat pengorbanan atas dasar keimanan. Inilah taat tanpa tapi dan patuh tanpa syarat. Sebuah teori sederhana yang mampu melahirkan manusia-manusia yang luar biasa. Bayangkan, kerinduan dan kasih sayang yang mendalam Ibrahim kepada istri dan anaknya harus dibayar dengan beratnya ujian. Dahsyatnya keimanan dalam hati menghendaki kecintaan itu tulus dan utuh kepada Allah semata dan mengalahkan kecintaan kepada selain-Nya, meskipun mereka orang-orang tercinta.
Coba perhatikan bagaimana sikap Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Isma’il ‘alaihissalam menerima setiap perintah yang datang dari Allah Ta’ala. Apakah menolak, membenci, banyak tanya atau malah banyak memberi syarat ini dan itu. Tidak sama sekali. Yang keluar dari lisan hanyalah ucapan ‘‘sami’na wa atho’na’’. Itulah sikap muslim sejati yang seharusnya diwarisi oleh kaum muslimin yang hidup bahkan ribuan tahun setelah wafatnya para nabi.
Allah ta’ala berfirman
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗوَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab : 40)
Ta’at tanpa tapi, patuh tanpa syarat. Bukan malah pilih-pilih syari’at karena menganggapnya terlalu ketat. Sungguh syari’at bukanlah sesuatu yang bisa dan boleh dipilih-pilih sebagaimana apa yang kita dapati pada sebagian kaum muslimin yang melaksanakan satu perintah dengan senang hati, tapi enggan bahkan mencela syari’at yang tidak sesuai hawa nafsunya.
Syari’at ini bukan seperti chanel TV, sehingga setiap orang bisa memilih tayangan yang disukai dan meninggalkannya ketika tak sesuai kemauan hati. Namun mirisnya, tidak sedikit dari kaum muslimin yang menyikapinya demikian. Maka ibarat hidangan, Islam yang mereka jalani tak ubahnya seperti hidangan prasmanan. suka - diambil, tak suka – ditinggal. Tak mudah memang memaksa diri menyantap hidangan yang tak disukai, apalagi jika punya alergi. Tapi justru di situlah inti sebenarnya dari adanya syari’at. Allah subhanahu wata’ala ingin melihat sejauh mana ketundukan kita kepada-Nya dan kepada syari’at yang datang dari-Nya
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْد
Keberhasilan Ibrahim dan Isma’il mendapatkan kemuliaan dari Allah ta’ala adalah hasil nyata dari ketaatan tanpa tapi dan patuh tanpa syarat. Karena keyakinan akan kasih sayang Allah telah mendahului setiap bisikan setan yang muncul di kepala mereka.
Jika seorang anak saja yakin bahwa sang ibu yang telah mengandungnya pasti menyayanginya, pantaskah makhluk yang lemah ini masih ragu dengan Dzat yang telah menciptakannya dan memberi banyak kenikmatan. Sungguh, setiap syari’at yang Allah tetapkan bagi hamba-Nya adalah wujud kasih sayang-Nya. Setiap perintah yang ada hanyalah petunjuk dari-Nya tentang jalan menuju surga. Dan setiap larangan-Nya adalah cara terbaik yang Allah pilih untuk menyelamatkan hamba-Nya dari jurang neraka.
Hadirin rohimakumullah,
Pelajaran keduanya adalah tentang sungguh-sungguh dalam beramal sholih dan melaksanakan syari’at Allah.
Dari potongan dialog Isma’il bersama sang ayah Ibrahim kita belajar akan arti keseriusan dan kesungguhan dalam menunaikan tuntutan seorang hamba kepada Robb-Nya. Betapa kedua insan itu berusaha melaksanakan perintah Allah dengan semaksimal yang mereka bisa.
Tentang ini, Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ، قَالَ ثِنْتَانِ حَفِظْتُهُمَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
Dari Abu Al Asy’ats dari Syaddad bin Aus dia berkata, “Dua perkara yang selalu saya ingat dari Rasulullah , beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan supaya selalu bersikap baik terhadap setiap sesuatu, oleh karena itu apabila salah seorang kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang terbaik. Dan hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan mata pisaunya dan membuat nyaman hewan sembelihannya.” (HR. Muslim)
Terdapat pesan penting dalam pelaksanaan sebuah amal dalam perintah Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam sebelum melakukan penyembelihan. Yaitu dengan memastikan ketajaman pisau. Seolah beliau ingin memberitahu bahwa sebelum melakukan amal, perhitungkan dengan matang persiapannya, termasuk mengantisipasi kendala yang bisa muncul dalam proses pengerjaan amalan tersebut. Hal ini agar tidak menimbulkan kerusakan, kegagalan, bahkan bisa sampai menyakiti pihak lain.
Dan itulah yang tergambar dalam kisah penyembelihan Isma’il. Sungguh, sebuah peristiwa yang menyadarkan kepada kita akan pentingnya sungguh-sungguh dalam menunaikan setiap perintah Allah subhanahu wata’ala. Tidak main-main dan meremehkannya, entah itu amalan besar ataupun yang kita anggap ringan. Sebab Rosulullah shollallohu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan kita tentang hal ini,
وَلاَ تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْرُوفِ
“Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau hanya berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya. Amalan tersebut adalah bagian dari kebajikan.” (HR. Abu Daud )
Mudah-mudahan kita bukan termasuk orang-orang yang meremehkan amal sholih baik ibadah mahdhoh maupun ibadah-ibadah yang lainnya.
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْد
Akhirnya, khotib mengajak kepada seluruh jama’ah, mari kita berdo’a memohon kepada Allah ‘azzawajalla -sang penguasa hati- agar senantiasa membimbing hati kita di atas ketaatan kepadanya. Di hari yang mulia ini semoga Allah perkenankan do’a-do’a kita. amiin ya robbal ‘allamin
اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنَّا نَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ الأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِى لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا
اللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ، وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ، وَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَبَارِكْ لَنَا فِي أَسْمَاعِنَا، وَأَبْصَارِنَا، وَقُلُوبِنَا، وَأَزْوَاجِنَا، وَذُرِّيَّاتِنَا، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ، وَاجْعَلْنَا شَاكِرِينَ لِنِعَمِكَ مُثْنِينَ بِهَا عَلَيْكَ، قَابِلِينَ لَهَا، وَأَتِمِمْهَا عَلَيْنَا
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ،
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Selamat berhari raya Qurban 1444 Hijriyah, Taqobbalallohu minna wa minkum,
Wassalamu ‘alaikum warohmatullahi wabarokatuh